Maslahat.id-Toxic masculinity merupakan anggapan sempit terkait peran gender dan sifat laki-laki. Toxic masculinity adalah istilah yang menggambarkan tekanan budaya bagi laki-laki untuk bersikap dengan cara tertentu yang dianggap maskulin, superior, dan agresif, seperti menunjukkan kegagahan, kekuatan, kekuasaaan, serta menekan emosi. Tentu saja sikap ini dapat memberi dampak negatif bagi kesehatan mental, hubungan sosial, dan perilaku laki-laki sendiri.
Praktik toxic masculinity ini kerapkali terjadi dalam relasi rumah tangga (suami-istri). Relasi suami-istri antara laki-laki dan perempuan terjadi saling berinteraksi, bekerja sama, juga saling melengkapi. Namun, tak jarang juga rumah tangga menjadi sumber konflik, ketidakharmonisan bahkan kekerasan akibat dari sikap dan perilaku toksik maskulinitas yang dimiliki oleh laki-laki.
Islam Merespon Toksik Maskulinitas Dalam Rumah Tangga
Islam sebagai agama yang sempurna dan rahmatan lil ‘alamin, memberikan panduan bagi laki-laki dan perempuan untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis, saling menghormati, dan saling membantu. Islam tidak mengajarkan toksik maskulinitas, melainkan mengajarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kepemimpinan dan kerjasama, antara kekuatan dan kelembutan, antara rasionalitas dan emosionalitas.
Toxic masculinity hampir terjadi pada berbagai aspek kehidupan, salah satunya dalam rumah tangga. Contohnya, seorang suami memiliki persepsi bahwa kegiatan seperti menyapu, mengepel, memasak, dan mengasuh anak itu tugas seorang perempuan. Padahal, pada hakikatnya pekerjaan-pekerjaan tersebut juga dapat dilakukan oleh laki-laki. Kemudian ketika pria menolak untuk berkoordinasi, berkonsultasi, atau berkomunikasi dengan istri atau anaknya, serta menutup diri dari emosi, belajar, dan bantuan itu juga merupakan salah satu bentuk toxic masculinity.
Tidak hanya itu, laki-laki juga tidak boleh menunjukkan kelemahan dan harus dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Apabila ada seorang laki-laki mengekspresikan kesedihannya, maka masyarakat akan menganggap bahwa ia adalah laki lemah. Pandangan semacam ini memberikan dampak negatif terhadap laki-laki, karena memberikan tekanan sangat besar terhadap laki-laki.
Menangis merupakan sebuah ekspresi yang manusiawi dan tanpa harus dibatasi oleh siapapun yang melakukannya. Bagi bayi, menangis merupakan alat komunikasi yang paling adaptif sebagai mekanisme pertahanan hidup, apapun jenis kelamin bayi tersebut. Bagi orang dewasa, menangis adalah ungkapan emosi, baik itu ungkapan emosi sedih, senang, bangga, haru, dan kesal. Bahkan menurut para ahli, menangis merupakan perilaku positif yang berdampak positif bagi kesehatan fisik maupun mental.
Pandangan Islam atas Sikap Maskulinitas
Menanggapi hal ini, Islam telah menjelaskan pembagian identitas laki-laki dan perempuan bukan untuk ditujukan dengan tidak bolehnya pekerjaan perempuan dikerjakan oleh laki-laki. Yang tidak diperbolehkan dalam Islam adalah apabila seorang laki-laki berpakaian menyerupai perempuan, bukan mengerjakan pekerjaan perempuan.
Dalam Islam, terdapat ajaran-ajaran yang menekankan pentingnya kesetaraan, keadilan, dan saling pengertian antara suami dan istri. Salah satu prinsip Islam yang relevan dalam merespon toksik maskulinitas adalah kesetaraan. Seperti yang tercantum dalam Q.S. Al-Baqarah: 233 sebagai berikut.
ﵟوَٱلۡوَٰلِدَٰتُ يُرۡضِعۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِۖ لِمَنۡ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَۚ وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ ﵞ
Artinya: “Dan para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui dengan sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut”.
Dalam tafsir Al-Qurthubi, ayat tersebut menjelaskan bahwa istri berhak mendapatkan nafkah dan pakaian dari suami, baik dia telah menyusui maupun belum pernah menyusui. Nafkah dan pakaian adalah imbalan dari suami dapat menggauli istri. Namun demikian, meski istri tidak dapat melayani suami pada masa menyusui, maka kewajiban nafkah tidaklah gugur. Karena nafkah dan pakaian merupakan bentuk dukungan agar istri dapat menyusui anaknya secara optimal dan kesehatan tetap terjaga.
Dalam buku “Istri Bukan Pembantu” karya Ahmad Sarwat menjelaskan bahwa Islam tidak menempatkan istri layaknya pembantu, tugas-tugas rumah tangga sejatinya bukan dipikulkan pada Pundak istri melainkan pada suami.
Sejatinya, tidak ada larangan bagi seorang suami untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, bahkan hal tersebut merupakan kewajiban yang harus dilakukan untuk istrinya. Sehingga istilah toxic masculinity tentang laki-laki yang mengerjakan pekerjaan perempuan akan mengurangi sifat maskulinnya adalah keliru. Sebab Islam sendiri secara jelas membantah istilah tersebut melalui prinsip ajarannya yaitu kesetaraan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Wallahu A’lam. (IM)