Belakangan tren sad beige kembali viral. Tren yang sedang digandrungi nyaris oleh semua orang. Orang-orang berbondong-bondong menggunakan fashion atau design interior yang estetik minimalis, seperti warna-warna pastel, krem, beige. Tren ini juga meluas pada pemilihan pakaian, mainan dan design kamar anak. Barangkali sudah membanjiri linimasa kita, scrolling sosial media, dan kita akan menemukan para orangtua menjadi bagian dari sad beidge parenting.
Bagaimana munculnya sad beige?
Berdasarkan beberapa sumber, ada pemicu di balik kemunculan tren sad beige. Pertama, mereka yang mengikuti tren ini ingin merubah paradigma seputar klasifikasi warna yang cenderung patriarki. Pink selalu diasosiasikan dengan gender perempuan, sementara biru adalah milik laki-laki. Untuk menghindari pengkotakan tersebut, kalangan ini memilih warna krem dan turunannya, seperti oatmeal, khaki, sand, grey yang memang netral dan genderless. Tidak mengarah ke feminin atau maskulin.
Kedua, masih dilansir dari sumber yang sama (Huffpost.com-media US), munculnya sad beige karena adanya kesadaran ekologis masyarakat. Mereka tidak ingin melihat limbah produk plastik yang berwarna-warni itu mengambang di lautan. Hal ini juga mempengaruhi beralihnya pemilihan mainan anak yang ramah lingkungan. Tidak lagi membeli mainan atau dekorasi rumah berbahan plastik yang berwarna, mereka membeli wooden toys, dekorasi dan perabotan dari kayu yang memang ambiance warnanya menghadirkan ketenangan dan kedamaian. Pada akhirnya sebagian produsen juga berlomba-lomba menjawab tantangan pasar, dengan membuat produk yang ramah lingkungan tersebut.
Kemunculan secara faktualnya sendiri seperti dilansir dari situs The Casa Revista, tren sad beige muncul menjelang akhir tahun 2022 hingga sekarang. The Guardian juga menuturkan latarbelakang mencuatnya karena faktor marketing dan konsumerisme sebagaimana bisa dilihat di akun tiktok @DeRoche dan platform e-commorce-Etsy, yang mana memang memasarkan gaya minimalis untuk para orangtua mengubah gaya perumahan.
Obsesi dan otoritarian orangtua?
Munculnya sad beige parenting juga diiringi dengan kehadiran sad beige baby. Berdasarkan penelitian The Guardian, sejak akhir tahun 2022 ditemukan bahwa pembelian atau penggunaan pakaian anak dengan tone krem melonjok hingga 67%. Bagi anak yang baru lahir, tentu mereka tidak bisa menentukan warna untuk dekorasi dan pakaian mereka. Mau tidak mau anak akan mengikuti tren yang dipilihkan oleh orangtua. Pola ini biasanya akan terbawa hingga besar. Mereka cenderung menyukai warna-warna netral tanpa adanya eksplorasi terhadap kekayaan warna.
Masih dalam laporan The Guardian, padahal memposisikan anak di lingkungan sedikit atau tanpa warna dapat membatasi dan menghambat kreativitas anak. Berdasarkan tahapan perkembangan anak, orangtua seharusnya mulai mengenalkan warna-warna terang mulai usia 2-3 bulan. Prof. Dr. Iswinarti, M.Si-seorang psikolog dari Universitas Muhammadiyah Malang juga menekankan, orangtau perlu mengenalkan warna-warna dasar, seperti merah, kuning dan hijau, baik dalam bentuk mainan, pakaian, atau buku. Kegiatan ini dapat menciptakan stimulasi visual dan keterampilan kognitif anak.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah orangtua telah mengenalkan warna, anak mulai bisa mengklasifikasikan warna-warna yang tercipta dari gabungan warna dasar tadi, atau biasa disebut dengan warna pelangi. Prof. Iswinarti juga menuturkan bahwa psikologi warna juga mewakili emosi anak. Misalnya warna cerah menunjukkan kegembiraan dan semangat atau hitam menggambarkan kesedihan yang mandalam, dan lain-lain. Jadi dari sini dapat disimpulkan, jika anak hanya terpapar oleh warna dengan tone krem dan warna tersebut tidak menarik perhatian anak, maka kemungkinan anak tersebut stimulasi kognitifnya kurang.
Bagaimana sikap kita sebagai orangtua?
Berdasarkan dampak yang lahir, maka kita sebagai orangtua harus mengesampingkan ego. Perbedaan selera atau prefensi terhadap warna memang hal yang wajar. Namun, pemaksanaan prefensi pribadi kepada orang lain apalagi terhadap anak terkait dengan tren beige adalah tidak tepat. Meskipun hingga kini tren ini masih berlangsung dan tak sedikit yang memperdebatkannya, banyak orangtua yang terus menentangnya dan menginfluence di media sosial tentang pentingnya pemaparan banyak warna terhadap anak. Lalu apakah tren ini akan tetap eksis? Bisa jadi iya, namun lagi-lagi orangtua juga sudah banyak yang terpapar oleh kontra-narasi dari sad beige parenting dan keluar dari standar tersebut.
Baca Juga: Menjadi Sahabat Untuk Anak