Bagikan

Belum lama ini, saya mendapatkan kabar duka dari adik sepupu saya. Mengatakan bahwa keponakan saya yang berusia satu setengah tahun meninggal dunia sebab kecelakaan rumah. Saya terkejut sekaligus teringat bahwa keponakan saya tersebut memiliki kakak yang usianya tidak terpaut jauh dengannya. Sebut saja Arya, yang usianya belum genap empat tahun.

Di masa pertumbuhan balita, Arya mengalami kematian pertama orang yang disayanginya. Seolah mendapat goncangan mental selepas kepergian adiknya untuk selama-lamanya. Masalahnya, Arya tidak (belum) mengerti dan merasai emosi kompleks. Jadi ia sempat mengalami kebingungan, ketika banyak orang ada di rumahnya, ia tak mengerti alasan mereka menangis. Bahkan saat ia coba melucu di depan ibu dan neneknya, ia masih tak mengerti mengapa orang tuanya bisa tertawa dan menangis di saat yang bersamaan.

Akhirnya pun ia bertanya, “Kenapa Ibuk menangis? Kenapa Mbah juga menangis?”

Mengenalkan Konsep Kematian Pada Arya

Kebingungan yang dialami Arya terkait mendefinisikan perasaan orang lain saat merespon kematian adiknya bukanlah tanpa alasan. Sebab, dalam kaca mata orang dewasa, Arya tidak sepenuhnya mengerti arti dari kata kematian. Arya tahu adiknya pergi, tapi tidak untuk selama-lamanya. Baginya, “adik pergi tak lama dan akan kembali pulang seperti biasa”.

Hal ini tentu mengundang pertanyaan-pertanyaan Arya kepada orang dewasa di sekitarnya. Beberapa kali ia bertanya, “Kemana Adek pergi? Kok enggak balik-balik?”, “Surga itu di mana? Jauh?”, “Allah itu bagaimana? Baik?” seolah-olah ia coba mencari celah menyusul adiknya dan menjemputnya untuk segera pulang.

Dalam rujukan psikologis pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan hal yang lumrah ditanyakan bagi anak yang mengalami kehilangan orang yang dicintai. Lalu, sebagai orang dewasa, kita memiliki kewajiban untuk memahamkan konsep kematian agar dapat membantu proses penerimaan dan penyembuhan mereka pasca berduka. Alih-alih menjawab pertanyaan dengan menggunakan eufemisme seperti, “Adik sedang tidur” Atau “Adik pergi ke tempat yang jauh” berilah mereka jawaban yang jujur.

Psikolog klinis Amerika, John Mayer, mengungkap bahwa kita tidak bisa menutupi arti kematian kepada mereka. Mengatakan fakta tentang kematian adalah cara yang tepat untuk mengajari mereka tentang arti kematian. Oleh sebab itu, jangan menghindarinya. Dewan konselor profesional berlisensi, Tammy Lewis Wilborn, pun sepakat bahwa menggunakan “bahasa imut” atau eufemisme dalam upaya melindungi anak-anak dari realitas kematian dan kehilangan justru lebih berbahaya.

Bertanya dan Menjawab Pertanyaan Arya tentang Kematian

Mungkin ada banyak cara bagi orang dewasa untuk mengenalkan konsep kematian kepada anak. Namun, cara yang paling efektif menurut kajian psikologi klinis adalah dengan menggunakan dialog atau percakapan antara orang tua dengan anak pasca kematian. Seperti Arya yang sering bertanya tentang adiknya, tak ada salahnya orang tua menanyakan hal yang sama kepada Arya. Hal ini akan mengarahkan kita pada percakapan dan pemahaman dari perspektif dua arah. Jadi, bukan hanya Arya yang belajar memahami perspektif yang diberikan orang tuanya. Tapi orang tua juga bisa mempelajari perspektif tentang kematian oleh Arya.

Wilborn menjelaskan, penting adanya menanyai atau menawarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang anak ajukan. Dari sana biasanya orang tua dapat masuk ke percakapan inti. Mereka tidak perlu memberikan detail spesifik tentang bagaimana orang itu meninggal. Anak tidak membutuhkan semua informasi, hanya detil yang cukup sesuai usia untuk memahami bahwa seseorang telah meninggal dan tidak akan kembali.

Anak juga perlu melihat orang tua bersedih atas kehilangan seseorang yang dikasihi. Tetapi anak juga harus diberi kesempatan untuk melihat orang tuanya menjaga diri sendiri dan merawat diri sendiri, dengan atau tanpa bantuan profesional. Jika tidak, menurut Wilborn, nantinya anak mungkin akan merasa seperti mereka harus merawat orang tua karena mereka tidak dapat mengelola kesedihan dengan cara yang sehat.

Selain itu, pastikan bahwa anak tahu jika kematian yang dialami keluarga terdekat bukan kesalahan mereka. “Kadang-kadang, anak memiliki cara yang sangat luar biasa untuk menyalahkan diri sendiri atas hal yang tidak ada hubungannya dengan mereka,” kata Wilborn. Sehingga, orang tua harus membantu anak agar memahami bahwa kematian bukan kesalahan mereka dan bukan tanggung jawab mereka untuk berusaha tabah atau menyembunyikan perasaan.

Tidak apa-apa menangis di depan anak dan menunjukkan nilai mengekspresikan emosi serta berbagi emosi di antara anggota keluarga. Tidak apa-apa untuk mengatakan hal-hal seperti, “Ibuk sedih karena Adek meninggal” atau “Ibuk sedih karena merindukan Adek”. Sebab, dari sana, orang tua dapat memberi kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan melalui fase kedukaan pasca kematian bersama-sama.

Belajar Merelakan Kematian

Kematian dan kesedihan yang ada setelahnya, merupakan bagian alami dari pengalaman manusia. Sejauh ini, kesedihan tercatat sebagai proses yang panjang sebelum sampai ke fase kerelaan (baca: kesembuhan). Oleh karena itu, orang tua harus menolak kecenderungan untuk buru-buru melewatinya dan bertanya-tanya kapan anak mereka akan melewatinya pula.

Sebagai orang dewasa, sudah seyogianya kita menyadari bahkan dalam konsep kematian bagi anak kecil adalah hal yang sulit dan membutuhkan proses waktu yang tak sebentar untuk benar-benar sembuh. Kesedihan adalah proses yang tidak bisa kita hindari. Jadi, kita harus melewatinya meski lama. Sebab, mengutip kata Wilborn, “Butuh beberapa waktu bagi seorang anak untuk kembali ke keadaannya yang normal pasca kematian seseorang yang disayang.”

Pada prosesnya, kita dapat menciptakan ritual sebagai alternatif cara melatih diri merelakan kematian orang terkasih. Seperti melakukan ziarah ke kubur oleh orang tua sambil mengajak anak mereka, sebagai bentuk mengingat dan menghormati orang tercinta yang telah meninggal dunia. Sembari menjelaskan bahwa “ia yang telah meninggal mungkin tidak berada di sini bersama kita, tetapi kita dapat mengingatnya dan merayakan hidup mereka sebagai bagian dari keluarga”. Supaya Arya dan anak lain yang mengalami pengalaman serupa dapat dengan lugas mengatakan, “Adik pergi. Ia tidak akan kembali. Kakak rela. Kakak tidak apa-apa.”

Baca Juga: Komunikasi yang Efektif dalam Keluarga Islam

Etika Filosofia; Kolomnis, pemerhati isu gender dan perempuan alumnus CRCS, UGM

Bagikan