Bagikan

Baiknya, Kapan Saya Menikah?

Dalam Islam, menurut pendapat Sa’id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha dalam kitab al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syafi’I, hukum seorang muslim yang hendak menikah secara syara’ itu kasusistik. Maksudnya, ia memiliki hukum yang berbeda-beda mengikuti keadaan atau kondisi seseorang.

Gradasi hukumnya dari wajib (harus), sunnah (lebih baik dilakukan), mubah (boleh), makruh (lebih baik ditinggalkan), hingga haram (tidak boleh). Misalnya seseorang yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah, lalu ia khawatir dirinya terjerumus perbuatan zina, maka dia wajib menikah. Sebaliknya, seseorang yang tidak mempunyai keinginan dan kemampuan serta tanggung jawab melaksanakan kewajiban dalam rumah tangga, maka dia dihukumi haram untuk menikah.

Selain didasari atas sikap kehati-hatian seorang muslim yang ingin menjaga dirinya dari dosa (zina) dan niat untuk menjalankan sunnah Rasulullah SAW. Secara garis besar, tingkatan hukum menikah bagi seorang muslim diukur dari kesiapan fisik, mental, dan finansial mereka. Hal ini seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW,

“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian sudah mampu (secara fisik dan finansial), maka menikahlah, karena itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari hadits tersebut, tak ayal jika seseorang yang merasa masih belum mampu memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan finansial untuk menjalani kehidupan rumah tangga, tidak dianjurkan bahkan diharamkan untuk menikah.

Bahkan oleh Syaikh Ali Jum’ah, seorang mufti dari Mesir, dalam kitabnya yang bertajuk al-Bayān limā Yusygil al-Aẓhān, menegaskan bahwa memaksa pernikahan oleh orang tua kepada putrinya dan menjalankannya tanpa rida sang anak merupakan bentuk kezaliman atas hak-hak orang lain, sehingga menjadikan pernikahan tersebut haram atau tidak boleh dilakukan.

Dari sini tergambar jelas bahwa sejatinya, tidak ada hal atau faktor lain yang membawa kita masuk ke dalam bahtera rumah tangga selain atas pilihan dan kemauan kita sendiri. Bukan dari faktor eksternal, seperti tekanan sosial atau paksaan orang tua. Sebab, setiap orang memiliki hak untuk menentukan arah hidupnya termasuk hak memilih pasangan hidup.

Jadi, kapan saya bisa menikah? Tentunya saat saya sungguh siap secara lahir dan batin. Ketika saya sudah merasa matang, baik dalam segi emosional, mental, maupun materi (meski tidak wajib) untuk turut berlayar dalam bahtera rumah tangga.

Siap Menikah Tapi Masih Lajang

Menikah tidak diragukan merupakan salah satu perjalanan penting dalam hidup manusia. Lalu, bagaimana nasib seseorang yang sudah siap menikah baik lahir atau pun batin, tapi masih belum menemukan orang yang ingin dinikahi dan menikahinya? Pada pertanyaan ini sepertinya tidak bisa langsung dijawab dan hanya Allah yang tahu kapan pastinya.

Meski begitu, hal yang harus disadari bahwa pernikahan adalah momen di mana sepasang manusia memasuki lembar kehidupan yang baru. Dan karena pernikahan adalah bentuk ibadah, maka ia seyogianya harus diniatkan karena Allah ta’ala bukan yang lain. Sehingga modal utamanya adalah keimanan dan keyakinan kita terhadap-Nya. Pun juga dengan perihal pasangan hidup (baca: jodoh).

Para perempuan lajang (dan laki-laki) telah dijamin Allah SWT melalui banyak ayat di dalam Al-Quran tentang Ia yang menciptakan makhluk secara berpasang-pasangan. Salah satunya yang tertera di dalam Surah Az-Zariyat ayat-49 yang artinya, “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat kebesaran Allah.”

Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu di dunia ini secara berpasangan, termasuk manusia. Hal ini menjadi tanda kekuasaan Allah dan janji-Nya bahwa manusia juga memiliki pasangan yang telah ditentukan. Meskipun tidak ada ayat spesifik yang menyatakan bahwa “setiap manusia pasti punya jodoh”, tapi ayat tersebut  memberikan keyakinan bahwa jodoh adalah bagian dari takdir yang telah ditentukan oleh Allah, meskipun waktunya mungkin berbeda untuk setiap individu.

Tentang kegagalan hubungan saya dengan lawan jenis, saya anggap bahwa pengalaman tersebut merupakan cara Tuhan untuk memberi saya bekal pengetahuan agar saya sadar bahwa saya masih butuh banyak belajar dan mempersiapkan diri, selain untuk mendekatkan diri kepada-Nya, agar kelak saya siap berlayar dalam bahtera pernikahan dan keluarga.

Pernikahan, bagaimanapun, adalah perjalanan panjang yang tidak mudah, tetapi juga bukan sesuatu yang mustahil. Yang pasti, pernikahan bukanlah perlombaan. Ini adalah perjalanan menuju takdir yang telah Allah tetapkan, perjalanan untuk terus belajar, memperbaiki diri, dan mempersiapkan hati agar siap menyambut pasangan hidup yang telah Dia tetapkan. [IN]

Baca Juga : Keluarga: Tempat Membangun Peradaban Berkelanjutan

Bagikan