Bagikan

“Si anu sudah punya anak, baru lahiran beberapa waktu lalu. Si anu (yang lain) bahkan sudah hamil anak kedua. Dengar kabar, katanya Si anu (yang lain lagi) juga sudah kawin. Lah kamu kapan?”

Rentetan pertanyaan serupa tapi tak sama itu, pastilah pernah sampai ke telinga banyak perempuan lajang berusia di atas 25 tahun: seperti saya. Ya. Masyarakat Indonesia di abad ke-21 tak dipungkiri memang masih meributkan soal pribadi perempuan yang masih melajang (tak punya tunangan atau pun pacar) setelah masa quarter life crisis mereka.

Dibandingkan dengan lelaki, perempuan lajang over 25 y.o mengundang banyak stereotip. Misalnya asumsi jika perempuan itu tidak rasional karena mematok standar terlalu tinggi, atau mereka terlalu pemilih, atau anggapan bahwa ada sesuatu hal yang salah dengan perempuan itu sehingga ia tidak disukai laki-laki (biasanya mengarah pada sihir guna-guna), dan lain sebagainya yang arahnya menuju pada alasan kenapa seorang perempuan bisa menjadi “perawan tua”.

Saya pribadi tidak mengiyakan atau pun menafikan asumsi-asumsi tersebut. Bagi saya, perihal pasangan semua hal jadi serba relatif. Para perempuan lajang di atas 25 tahun tersebut pasti memiliki sebab musababnya sendiri yang menjadi alasan ketidakberuntungan mereka dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis. Saya sendiri, beberapa kali menjalin relasi dengan para lelaki, tapi ada saja hal tak sejalan yang membuat relasi tersebut bubar jalan. Sementara tekanan eksternal (dari keluarga dan sosial) untuk menikah semakin tinggi.

Kenapa Harus Menikah?

Soal memiliki pasangan (baca: pernikahan) dapat dikatakan telah menjadi pembicaraan umum dan (seolah) merupakan kepentingan publik. Dampaknya, saya tidak bermaksud mendiskreditkan, kehidupan perempuan lajang di atas 25 tahun entah sebaik apa pun karirnya, tinggi pendidikannya, stabil finansialnya, jika masih belum memiliki pasangan, maka ia (tetap) akan dianggap tidak utuh. Sebuah fakta yang pahit, tapi begitulah adanya.

Akhirnya, banyak perempuan yang menikah, bukan karena sungguhan kemauan mereka sendiri, malah karena tekanan eksternal. Biar bagaimana pun, masa reproduksi perempuan ada batasnya. Suatu ketika, mereka akan kehabisan sel telur sehingga tidak bisa berkembang biak dan melahirkan keturunan. Oleh karena itu, perempuan harus segera menikah, tidak perlu banyak pertimbangan, tak perlu berpikir panjang. Terima saja laki-laki yang datang melamar ke rumah, apa pun latar belakang mereka. Syukur-syukur ada yang mau. Begitu (mungkin) yang ada di pikiran banyak orang.

Menikah dan pernikahan. Ada banyak artian bebas yang disematkan untuk mendefinisikan makna nikah dan pernikahan secara esensial. Banyak orang beranggapan bahwa pernikahan adalah perjanjian antara suami dan istri yang di dalamnya terdapat banyak fungsi seperti relasi seksual pasangan suami-istri, fungsi kasih sayang, fungsi penerusan generasi, fungsi sosialisasi dan internalisasi beragam nilai sosial, nilai religi, nilai moral, dan lain sebagainya (Kieser, 2003).

Ada juga yang bilang jika pernikahan tak ubahnya seperti melakukan petualangan dalam hidup. Ia belum tentu berhasil sebab kebersamaan keluarga itu rentan, ada kepercayaan yang harus selalu dijaga dari hari ke hari. Sehingga sulit memberi pemaknaan konkret atas pernikahan, karena ia merupakan proses tanya-jawab sepanjang sejarah hidup manusia.

Menurut perspektif Islam, perkawinan dalam Al-Quran bukan hanya sekedar kontrak sosial antara laki-laki dan perempuan, atau sekedar untuk memenuhi kebutuhan seksual secara legal. Akan tetapi perkawinan merupakan sesuatu yang bersifat sakral dan dilakukan terutama, dan pertama sekali dengan landasan mencari rida Tuhan.

Lantas mengapa seseorang harus menikah? Tidak. Seseorang memiliki kebebasan untuk menentukan apakah mereka ingin menikah atau tidak, tanpa paksaan atau tekanan dari pihak mana pun, menurut sudut pandang hak asasi manusia universal (DUHAM). Jadi menikah adalah pilihan, bukan kewajiban. Pilihan tersebut adalah cerminan dari kebebasan yang menjadi inti hak asasi manusia.

Tapi, jika kita berkaca pada perspektif agama Islam, pernikahan sejatinya merupakan suatu hal yang penting dan seyogianya dilakukan. Keluarga adalah penjaga iman. Saat sejoli menikah, sejatinya mereka tengah menjalani ibadah terlama yang bisa dilakukan oleh manusia. Bahkan Rasulullah SAW bersabda bahwa saat umat Islam menikah, maka mereka telah menggenapkan separuh agama.

Selain itu, Rasulullah SAW yang notabene merupakan manusia paling sempurna di bumi pun melakukan pernikahan, sehingga menjadikan pernikahan sebagai salah satu bentuk sunnah nabi yang (sangat) dianjurkan. Diriwayatkan dari Ibnu Majah, Rasulullah dengan tegas mengatakan, “Nikah termasuk sunnahku. Barang siapa tidak mengamalkan sunnahku, ia tidak termasuk golonganku.”

Pernikahan Yang Seperti Apa?

Bagi umat muslim, istilah keluarga sakinah tentu bukan hal yang asing. Secara harafiah berarti keluarga yang tenang, tenteram. Istilah ini diambil dari Surah Ar-Rum ayat 21. Keluarga sakinah terbentuk dari jalinan harmonis kehidupan pernikahan suami dan istri. 

Dalam bahasa Alquran, keharmonisan tersebut diikat dengan mawaddah dan rahmah. Yang pertama berarti kasih sayang yang lahir dari interaksi fisik dan yang kedua berarti kasih sayang yang lahir dari interaksi batin. Jika interaksi fisik berkurang karena sunnatullah (sudah tua, sakit, dan lain sebagainya) maka, interaksi batinlah yang masih bertahan menjaga hubungan kasih sayang suami dan istri.

Pendekatan kasih sayang merupakan pendekatan yang paling ideal untuk menciptakan keluarga sakinah, tetapi hal ini sifatnya sangat personal dan ukurannya abstrak dan kualitatif (baca: relative). Untuk menjaga hubungan suami istri tetap baik, Islam mengaturnya dengan pendekatan hukum yang bersifat minimal dan dapat diukur secara konkret menggunakan pendekatan hak dan kewajiban.

Dalam Islam diatur bagaimana hak dan kewajiban bersama antara suami dan istri. Perlu banyak detail dan penjelasan untuk tahu dan memahami bagaimana hak dan kewajiban tersebut ada dan bekerja. Satu contoh, kerja mencari nafkah bagi seorang laki-laki (suami atau bapak) hukumnya adalah wajib, sementara bagi perempuan (istri atau ibu) hukumnya adalah mubah (boleh), sehingga dana yang dikeluarkan oleh perempuan untuk keperluan keluarganya adalah bernilai sedekah.

Keputusan istri bekerja atau tidak diserahkan pada musyawarah suami istri. Tak dapat dipungkiri, dalam hal ini sering terjadi perbedaan pandangan, bahkan kepentingan. Tidak jarang menimbulkan ketegangan dan konflik. Untuk menghindarinya, Islam memberikan otoritas membuat keputusan akhir kepada suami sebagai pemimpin. Acuannya adalah tuntunan agama dan maslahah keluarga. Lalu istri memiliki kewajiban untuk mematuhinya.

Dari sini tampak bagaimana pernikahan yang notabene merupakan ibadah tersebut harus dilandasi dengan niat yang kuat untuk mengharap rida Allah SWT. Jika tidak, tentu hakikat dari pernikahan akan kehilangan makna spiritualnya. Sebagaimana ibadah lainnya, niat adalah inti dari amal perbuatan.

Sabda Nabi Muhammad SAW bahwa, “Sesungguhnya segala amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan (pahala) sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim).

Tanpa niat yang tulus untuk meraih rida Allah, pernikahan dapat terjebak hanya pada dimensi duniawi. Ia menjadi sekadar formalitas, sebagai pemenuhan tekanan sosial, atau bahkan mengejar kepentingan pribadi semata. Yang muaranya akan menjauhkan diri dari keberkahan yang seharusnya diperoleh dalam pernikahan. [IN]

Selanjutnya: Menyelami Makna Pernikahan: Antara Standar Sosial dan Janji Tuhan (2)

Bagikan