Mencari Allah di Youtube

5 menit

Bagikan

“Ma, aku pengen lihat Allah di Youtube“

“Gimana caranya?“

Begitu celetuk si bungsu pada suatu sore menjelang Magrib. Dia bersikukuh untuk dapat melihat dan tau tentang Allah di Youtube. 

Agak lucu juga ya bund, beberapa pertanyaan anak-anak sungguhlah absurd. Tentu saja hal ini tak akan mungkin terbesit di otak saya waktu kecil dulu, karena mengenal Allah kala itu jika tidak didapatkan dari mushola, dari pendidikan orang tua di rumah, ya kemungkinan akan didapatkan di TPA tempat ngaji. Itupun juga sebatas mengenal dan mendengar nama Allah tanpa punya keinginan untuk bertanya lebih jauh lagi. Maklum pola pendidikan dogmatis dan tradisional sangat mendominasi. Untuk tanya lebih jauh lagi kok rasanya sudah takut duluan. 

Hari ini, anak-anak Generasi Alpha punya logika dan cara berpikir yang semakin kreatif bersamaan dengan tumbuhnya teknologi digital. Generasi ini dikategorikan sebagai generasi digital natives, artinya mereka lahir dan berkembang seiring dengan melesatnya teknologi digital. Kehidupan generasi ini tak lagi dapat dipisahkan dari dunia digital bahkan dari sejak bangun tidur sampai hendak tidur lagi. 

Penetrasi digital yang terjadi sangat massif dalam kehidupan sehari-hari kita pada akhirnya juga menciptakan karakter-karakter tertentu bagaimana kemudian agama dibicarakan di ruang digital, atau sebaliknya bagaimana wacana keagamaan mempengaruhi pembentukan tren keagamaan di ruang publik digital, terlebih bagi generasi digital natives

Ya seperti kasus di atas, anak saya yang bisa mencari tau apa saja di internet kemudian punya inisiatif untuk bertanya tentang Allah di Youtube. Tentu ini bukan pertama kalinya, pertanyaan-pertanyaan serupa kerapkali muncul dan membuat beberapa orang tua mati gaya bagaimana cara jawabnya, termasuk saya. 

Agama Digital

Pandemi mengubah cukup signifikan beberapa transformasi sosial, politik dan kegamaan. Yang dulunya terdapat beberapa kalangan yang beranggapan bahwa agama tak patut memasuki ruang-ruang digital, sekarang sebaliknya wacana-wacana keagamaan berkembang pesat dan dibicarakan publik melalui media digital. Going digital mau tak mau menjadi ruang alternatif agama untuk terus bertransformasi meskipun dalam beberapa hal masih terdapat perdebatan, termasuk mempertanyakan keabsahan dan otoritas ngaji di ruang-ruang digital. 

Bagi masyarakat Muslim tradisional tentu etika mengaji tidaklah absah selain melalui cara-cara seperti ngaji sorogan di pesantren dan dengan memperhatikan sanad keilmuan yang benar. Terlebih ketika mengaji online ada jarak yang tak bisa tergantikan, relasi guru murid yang tercatat dalam kitab-kitab babon seperti Ta’lim Muta’alim seakan tak menemukan relevansinya. 

Sedangkan karakter media digital tidak mengenal etika belajar seperti itu, melainkan lebih terbuka, tidak menggurui, interaktif dan demokratis. Guru dan murid dapat menjalin komunikasi dua arah yang tak didapatkan dalam metode pembelajaran keagamaan sebelumnya. Gaya bahasa yang digunakan juga harus disesuaikan, dari yang melangit-langit kita turunkan dengan menggunakan bahasa-bahasa yang membumi. Yah, maklum namanya juga ruang publik yang tak semua mempunyai background keagamaan yang setara. 

Tapi di sinilah kemudian transformasi ini semakin membuka tantangan sekaligus peluang bagaimana pengetahuan agama diproduksi di ruang digital. Di satu sisi, yang berkembang dan menjadi perbincangan sehari-hari masyarakat Muslim digital adalah topik-topik hukum Islam dan kesalehan, baik individu dan umum. Di sisi lain topik keislaman lainnya yang menjadi dasar pengetahuan agama semakin tidak tersentuh publik digital, sehingga potret pengetahuan Islam yang ada di ruang digital hari ini sebatas pada diskursus Fikih dan kesalehan. 

Baru-baru ini, tepatnya di tahun 2021 PPIM, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah mempublikasikan hasil penelitian yang menyatakan bahwa anak-anak muda generasi milenial dan Z kerap mengakses informasi keagamaan dari platform media sosial dan podcast. Sementara generasi tua (boomer dan X) mengakses informasi keagamaan dari radio dan televisi. 

Pada aspek media sosial, 96,35 persen responden menjadikan WhatsApp sebagai aplikasi untuk mencari pengetahuan agama. Adapun media sosial lain yang dipakai adalah Facebook (83,04 persen), Youtube (62,23 persen), Instagram (55,55 persen), Telegram (28,61 persen), Tiktok (25,16 persen), Twitter (18,21 persen), dan Line (11,85 persen).

Dari survey ini nampak jelas ragam ekspresi keagamaan generasi muda di ruang digital hari ini. Sumber pengetahuan agama bertransformasi melalui kanal-kanal digital dengan cara merespon aktif baik dengan memberikan like, komentar dan membagikan tautan. Ajaran agama bertransformasi melalui broadcast di grup-grup Whatsapp yang penulisnya pun kita seringkali tidak mengetahui siapa. Sumber-sumber pengetahuan agama bersirkulasi dengan begitu cepat, tak terbatas.  

Bangkitnya Institusi Agama di Ruang Digital

Masuknya topik agama di ruang digital belakangan ini semakin marak seiring dengan mulai terbukanya pemahaman keagamaan yang tak lagi keras melawan perkembangan teknologi. Faktanya perkembangan agama belakangan ini justru karena memakai media digital sebagai metode berdakwah, yang artinya memahami teknologi digital sebagai bagian dari infrastruktur komunikasi modern jauh lebih menguntungkan dari pada menganggapnya sebagai musuh umat Islam. 

Ada yang menarik membincang tentang fenomena agama digital hari ini, khususnya di Indonesia. Menurut penelitian PPIM, wacana keagamaan yang berkembang mayoritas diisi oleh diskursus keagamaan konservatif. Salah satu alasan kenapa konten-konten keagamaan konservatif menjadi populer di ruang digital adalah karena minimnya dan kelangkaan tim produksi yang paham atas persoalan agama. Parahnya lagi tim produksi akhirnya mengambil jalan pintas dengan dengan mempercayakan konten sepenuhnya oleh Ustadz-ustadz dan narasumber yang mereka pilih yang pada akhirnya konten dan wacana keagamaan berorientasi pada ustadz tersebut. 

Di sinilah letak urgensinya kenapa kita harus mulai memperbanyak dan memunculkan nama-nama pendakwah, yang punya otoritas keilmuan, dan memberikan kepada mereka ruang-ruang digital untuk berdakwah agar diskursus agama di media digital semakin berwarna. Dunia digital memberikan peluang kepada siapa saja yang mau terlibat untuk mengkampanyekan tema-tema keberagamaan yang santun dan berdasarkan pada sumber pengetahuan serta khazanah keislaman yang kaya. 

Paling tidak, menurut saya, ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan lembaga agama, individu, maupun komunitas keagamaan untuk turut terjun di ruang digital. Pertama, ruang digital merupakan ruang yang tak hanya dihuni oleh satu kelompok dan komunitas tertentu. Karakter publik digital juga sangat berbeda dengan dunia nyata. Maka membangun kultur digital baru yang berdasarkan pada relasi terbuka dan cair merupakan sebuah keharusan. Lembaga agama harus mampu menjadi jembatan dan penghubung antara beberapa komunitas keagamaan yang tak melulu eksklusif. 

Kedua, membangun hierarki komunikasi dua arah. Jika metode dakwah dalam beberapa waktu lalu hanya berpusat pada komunikasi searah, dari mimbar Kyai atau Ustadz misalnya, publik digital membutuhkan ruang-ruang yang demokratis dan kritis. Artinya, siapapun yang berkecimpung dalam aktivitas dakwah keagamaan perlu mempertimbangkan untuk membuka hierarki baru yang mengakomodir suara-suara publik digital. 

Ketiga, mengantisipasi jika terdapat pertentangan yang melibatkan beberapa kelompok agama. Dalam ruang digital, perdebatan bahkan yang menyulut aksi kekerasan verbal menjadi fenomena yang tidak dapat dihindari. Di sinilah peran lembaga keagamaan dan tokoh-tokoh yang terlibat untuk menjadi penengah baik atas problem internal maupun eksternal. 

Ruang digital hari ini ibarat rumah kedua, rumah yang ingin menjadi rempat di mana penghuninya juga dapat merasakan kenyamanan dalam berinteraksi, berkomunikasi, bahkan dalam mencari nilai-nilai spiritualitas yaitu belajar agama. 

Saya pada akhirnya meyakini bahwa spiritualitas dan ekspresi keagamaan umat beragama sangat berbeda, mungkin ada yang menganggap belajar di internat tak memiliki kekuatan pengetahuan atau dianggap tidak mendalam. Tapi bukankah tidak semua harus menjadi ahli, bukankah cukup misalnya jika seseorang merasa terpenuhi dan mendapatkan informasi keagamaan yang membuatnya merasa mendapatkan nilai-nilai spiritualitas yang dicari?

Saya jadi membayangkan kelak wacana keagamaan yang ada di ruang digital mampu mengarah pada progresivitas agama, di mana perdebatan, diskursus dan dialektika yang berkembang tak lagi hanya berfokus pada justifikasi semata melainkan mampu dijadikan ruang terbuka untuk saling berbagi dalam rangka menemukan formula keagamaan yang sesuai dengan publik digital. 

Jika kondisi ideal ini bisa kita wujudkan bersama, saya tak lagi khawatir misalnya di kemudian hari, generasi muda kita termasuk anak-anak saya nantinya belajar agama di internet. Saya juga tak lagi antipati dengan wacana-wacana keagamaan di ruang digital tanpa harus sinis mengatakan “ngaji kok lewat Youtube, ngaji kok lewat Twitter…”. 

Atau bisa jadi suatu ketika nanti anak saya akan bertanya-tanya lagi tentang misalnya “Allah itu adanya di dunia nyata apa dunia maya? Kok sama-sama ga kelihatan? „

**

Bagikan