Bagikan

Maslahat.id- Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) sungguh membuat kita miris. Data ini mengungkapkan, sekitar 34,5% anak laki-laki dan 25% anak perempuan sudah aktif melakukan kegiatan seksual. Hal ini disampaikan Asisten Deputi Pelayanan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Robert Parlindungan S berdasarkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) KPPPA.

Data yang sama juga mencatat ada 66% anak laki-laki yang pernah menonton kegiatan seksual melalui platform game online. Terdapat 63,2% anak perempuan yang pernah menonton pornografi. Kemudian, ada 39% pernah mengirimkan foto kegiatan seksual melalui media online. (Nasional Kompas, 1-12-2021)

Pada rentang Januari—November 2023 terdapat 15.120 kasus kekerasan terhadap anak dengan 12.158 korban anak perempuan dan 4.691 korban anak laki-laki. Kekerasan seksual menempati urutan pertama dari jumlah korban terbanyak 2019—2023. (Situs Kemen PPPA, 6-1-2024)

Membaca data ini, langsung terlintas dalam benak, bagaimana kita akan melindungi anak-anak dari serbuan masif pornografi ini? Apalagi berbagai kasus kekerasan seksual terhadap anak makin marak. Ini ditengarai merupakan salah satu akibat dari tidak terkendalinya nafsu setelah mengonsumsi konten-konten pornografi.

Semestinya negara hadir saat ini untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak. Negaralah pemilik kekuatan yang kita butuhkan untuk menghentikan secara total serangan pornografi ini. Negara adalah institusi satu-satunya yang memiliki kekuatan sarana untuk memblokir situs-situs porno yang menyerbu internet.

Sayang, sistem yang seharusnya melindungi kita, saat ini tidak ada. Oleh karena itu, keluarga harus berjuang ekstra memberikan perlindungan pada anak-anak.

Hal-Hal yang Harus Dilakukan Orang Tua

1. Membentengi anak dengan takwa.

Takwa merupakan pencegahan diri secara internal yang paling kuat. Takwa akan memalingkan anak dari perbuatan mungkar dan menghalanginya dari kemaksiatan kepada Allah Taala.

Untuk menanamkan takwa, orang tua sedini mungkin telah mengenalkan anak kepada Penciptanya, menunjukkan kasih sayang Allah Swt., menanamkan pemahaman hidup yang berorientasi rida-Nya, dan membiasakan terikat pada hukum-Nya.

2. Menanamkan rasa malu.

Malu merupakan gabungan antara sifat takut dan ‘iffah (menjaga kesucian diri). Rasa malu berfungsi pencegahan perbuatan-perbuatan buruk, seperti mengumbar aurat, mejeng, berlaku genit, dan sebagainya.

Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh, malu itu sebagian dari iman.” (HR Al-Bukhari).

Harus ditanamkan rasa malu pada anak sejak kecil. Anak dibiasakan malu jika telanjang di depan orang lain, malu buang air sembarangan, dan sebagainya.

3. Memahamkan batasan aurat dan kewajiban menjaganya.

Islam menetapkan batasan aurat laki-laki berbeda dengan perempuan. Begitu pula aurat perempuan di hadapan mahram dengan bukan mahram dibedakan. Pemahaman batas aurat seperti ini harus dipahamkan pada anak sejak kecil sehingga ia terbiasa menutup auratnya saat menginjak balig.

Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut. Aurat perempuan di hadapan mahram dan bukan mahram dijelaskan dalam Al-Qur’an (Lihat: QS An-Nur [24]: 31).

Anak dan anggota keluarga yang lain dibiasakan menutup auratnya dan malu menampakkannya pada orang lain. Misalnya, ketika anak selesai mandi, biasakan anak berganti pakaian di kamar mandi.

Di hadapan non-mahram, aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Sejak kecil, biasakan anak untuk mengenakan kerudung dan baju yang menutup auratnya sehingga saat balig sudah siap dan terbiasa. Dengan demikian, anak tidak merasa berat, gerah, ataupun tidak percaya diri.

Selain menutup aurat, anak harus dibiasakan menjaga auratnya agar tidak disentuh oleh orang lain, kecuali yang terbiasa melayaninya, seperti ibu dan pengasuh. Oleh karenanya, anak diupayakan segera menguasai keterampilan istinja sehingga tidak membutuhkan orang lain untuk membersihkan bagian vitalnya setelah ia masuk usia prasekolah.

4. Memisahkan tempat tidur anak.

Tidurnya dua anak dalam satu tempat tidur (madhja’) merupakan aktivitas yang bisa menjadi pengantar zina dan sodomi. Ini merupakan bentuk perbuatan mudhâja’ah (tidur bersama). Oleh karena itu, dalam hal ini berlaku hukum perbuatan yang lazim menjadi pengantar zina dan sodomi, yaitu haram.

Merujuk pada dalil larangan mudhâja’ah (tidur bersama), dengan tegas telah disebutkan oleh Nabi saw.,

مُرُوا أَوْلاَدَكُم بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعَ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في المضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian salat ketika usia mereka tujuh tahun. Pukullah mereka karena meninggalkannya saat berusia sepuluh tahun. Pisahkan mereka di tempat tidur.” (HR Abu Dawud).

Kewajiban memisahkan tempat tidur ini berlaku sejak anak menginjak usia 7 tahun.

5. Membiasakan anak minta izin memasuki ruangan khusus pada waktu aurat.

Tiga ketentuan waktu yang tidak diperbolehkan anak-anak untuk memasuki ruangan (kamar) orang dewasa, kecuali meminta izin terlebih dulu adalah sebelum salat subuh, pertengahan hari, dan setelah salat Isya. Aturan ini ditetapkan mengingat di antara ketiga waktu tersebut merupakan waktu aurat, yakni waktu ketika badan atau aurat orang dewasa banyak terbuka (Lihat: QS An-Nur [24]: 58).

Dengan ketentuan ini, anak dihindarkan melihat aurat yang tidak layak dilihatnya. Kebersihan jiwanya akan lebih terjaga dari munculnya syahwat sebelum waktunya.

Konsekuensi dari aturan ini adalah pada selain tiga waktu tersebut, orang dewasa harus menjaga auratnya sekalipun di kamar agar anak tidak menyaksikannya, kecuali pada kondisi yang sopan. Begitu pula tuntutan meminta izin pada tiga waktu tersebut berarti anak tidak tidur dalam kamar yang sama dengan orang tua. Ini karena memungkinkan anak melihat adegan yang tidak layak bagi dirinya saat ia terjaga dari tidur.

6. Mendidik anak agar selalu menjaga pandangan mata.

Allah Swt. telah memerintahkan menahan pandangan (Lihat: QS An-Nur [24]: 30—31). Menahan pandangan adalah menghindarkan pandangan dari hal yang diharamkan untuk dipandang, seperti memandang aurat, misalnya paha, perut perempuan, dan sebagainya. Begitu pula harus menghindari memandang bagian yang bukan aurat dengan pandangan syahwat. Misalnya, laki-laki memandang wajah perempuan dengan nafsu syahwat.

Oleh karena itu, anak dididik menjaga pandangannya, termasuk dari melihat gambar-gambar atau film yang mengandung unsur pornografi dan pornoaksi.

7. Mendidik anak menghindari khalwat.

Khalwat adalah bertemunya laki-laki dan perempuan bukan mahram secara menyendiri di suatu tempat yang aman dari keberadaan orang lain. Misalnya, berduaan di dalam rumah, di taman yang sepi, atau di dalam mobil pribadi. Rasulullah saw. secara tegas melarang khalwat,

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بالله وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلا يَخْلُوَنَّ بِإِمْرَأَةِ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمِ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

“Siapa saja yang mengimani Allah dan hari akhir, janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahram wanita tersebut karena setan menjadi orang ketiga di antara mereka berdua.” (HR Ahmad).

Anak yang sedari kecil diajarkan tidak berkhalwat, akan lebih mudah menjaga diri dari kemungkinan pelecehan seksual dan menghindari pacaran.

8. Mendidik anak agar tidak melakukan ikhtilât yang haram.

Ikhtilât yang diharamkan yaitu bercampurbaurnya laki-laki dan perempuan bukan mahram tanpa ada kepentingan yang disertai interaksi di antara mereka.

Pada dasarnya, ikhtilât yang tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan umum hukumnya boleh. Ini seperti bertemunya laki-laki dan perempuan di pasar, sekolah, masjid, jalan raya, dan di tempat kerja. Begitu pula ikhtilât di rumah yang memang ada keperluan, seperti silaturahmi, jamuan makan, dan sejenisnya.

Sebaliknya, ikhtilât yang dilakukan tanpa ada kepentingan syar’i, hukumnya haram. Sebagai contoh adalah beberapa laki-laki dan perempuan bukan mahram yang melakukan perjalanan wisata atau nonton bersama yang semuanya disertai pembicaraan-pembicaraan akrab atau bentuk interaksi lain yang terlarang antara laki-laki dan perempuan.

Sekalipun tidak termasuk ikhtilât, interaksi seperti menelepon, saling mengirim pesan online, dan chatting antara laki-laki dan perempuan bukan mahram tanpa ada kepentingan dan mengarah pada hubungan laki-laki dan perempuan adalah haram. Contohnya, membicarakan masalah-masalah pribadi, curhat bukan dalam rangka mencari solusi, merayu, dan sejenisnya.

Jejaring sosial seperti Facebook dan Instagram membuka peluang besar terjadinya pergaulan bebas di antara anak-anak, terutama remaja. Oleh karena itu, mereka harus memahami hukum ikhtilât dengan benar dan menjadikannya sikap hidup dalam keseharian.

9. Mengajarkan dan membiasakan anak saum sunah.

Saum sunah adalah perisai bagi para pemuda yang belum mampu menikah dalam menghadapi bergejolaknya nafsu biologis. Oleh sebab itu, sebelum balig, usahakan mereka telah dikenalkan dan diajarkan untuk melakukan saum sunah.

10. Membatasi penggunaan gadget pada anak.

Boleh jadi, poin ini yang paling sulit. Apalagi terkadang gadget diperlukan untuk beberapa tugas sekolah anak. Dengan alasan belajar, anak bisa menjelajah seluruh informasi, kadang yang tidak terjangkau oleh orang tua. Berawal dari sinilah, anak banyak terperosok dalam pornografi, pedofilia, kejahatan seksual online, dan sebagainya.

Orang tua tidak bisa melarang anak menggunakan gadget sama sekali. Namun, insyaallah jika poin-poin sebelumnya sudah diajarkan, anak akan memiliki panduan. Orang tua harus kreatif membuat berbagai aktivitas yang menyenangkan anak sehingga mengalihkan perhatian mereka terhadap gadget. Orang tua bisa mengajak anak bercerita, bermain puzzle, main petak umpet dan sebagainya, terutama aktivitas fisik.

Inilah beberapa tip menjauhkan anak dari serbuan pornografi. Tentu sambil kita iringi dengan upaya mewujudkan adanya pelindung paripurna bagi umat, yaitu Khilafah Islamiah.

Wallahualam bissawab.

Arina Retnaningsih

Bagikan