Maslahat.id- Anda mungkin pernah membayangkan sebuah kondisi di mana rumah menjadi satu-satunya tempat ternyaman untuk merebahkan segala lelah saat ketika kita merasakan penatnya rantauan. Mungkin anda juga pernah membayangkan suasana rumah yang hangat dan romantis, di mana ayah asik membaca koran di teras rumah, dari belakang aroma sambal goreng ibu tercium harum menggoda perut keroncongan dan adik atau kakak bermain riang gembira penuh tawa dan suka cita. Nikmat nian bukan suasana semacam itu? Apalagi ditambah saat kondisi sedang basah akibat hujan menyirami bumi, setelahnya masakan ibu siap disantap bersama di ruang tengah sambil menonton acara televisi keluarga dan obrolan-obrolan serta tawa-tawa kecil meletup memecahkan keheningan. Amboi, begitu nikmat karunia Tuhan yang demikian itu.
Namun, dari gambaran di atas kita pernah atau tidak membayangkan bahwa dalam lingkaran yang sekecil itu kelak akan menjadikan orang-orang di dalamnya berperan dalam lingkaran yang lebih besar, yaitu, masyarakat. Saya akan mencoba menjelaskan sedikit mengenai bagaimana masyarakat dapat dikonstruk dari struktur terkecilnya yaitu, keluarga. Melalui kacamata sosiologi kita akan melihat bagaimana peran keluarga dalam membentuk individu-individu di dalamnya.
Keluarga Sebagai Ruang Sosialisasi
Keluarga adalah elemen terpenting dalam masyarakat, sebab ruang vitalitas terbentuk di dalamnya, bukan hanya secara struktural melainkan juga kultural. Di mana secara struktur biasanya ada pembagian kerja dan peran serta fungsi di dalam keluarga itu sendiri, di mana ayah akan menjadi kepala keluarga, ibu akan menjadi seseorang yang berperan dalam mengelola urusan domestik dan anak-anak kemudian bisa berperan sebagai objek sosialisasi atau justru memiliki pembagian tugasnya sendiri.
Hal-hal struktural tersebut memang tidak terformalisasikan, akan tetapi tanpa disadari konstruksi keluarga selalu membentuk suatu hierarki di mana diantara kesemuanya memiliki peran dalam menjaga harmonitas keluarga di dalamnya. Hierarki yang dimaksudkan bukan sesuatu yang sifatnya kaku, sebab ada limitasi diantara kesemuanya itu adalah berkerjanya aspek kultural, di mana setiap individu di dalam keluarga bisa berperan sesuai kebutuhan di dalamnya atau saling bahu-membahu dalam melakukan apapun dengan tujuan agar terjalinnya kehangatan dan kebersamaan yang paripurna dalam suatu keluarga tersebut.
Misalnya ibu tidak melulu harus berjibaku dengan urusan domestik, bisa saja ibu dan ayah berganti peran dalam menjadi tulang punggung keluarga atau anak-anak bisa juga menggantikan peran domestik ibu seperti memasak, ngepel, nyuci piring dsb. Dalam artian struktur dalam keluarga tidak kaku dan selalu dinamis selagi individu-individu di dalamnya bisa dikomunikasikan dan memiliki satu kesadaran bersama dalam menjaga kerukunan keluarga, sehingga tidak ada yang merasa superior, tidak ada yang merasa dilemahkan, melainkan saling menopang satu sama lain dan berkerjasama menjalankan perannya masing-masing.
Hubungan-hubungan yang terjalin demikian, sosiologi melihatnya sebagai sebuah proses sosialisasi di mana kebiasaan individu akan terbentuk secara alamiah ketika menjalankan kehidupan sehari-hari sebab adanya interaksi-interaksi di dalam lingkaran kecilnya yaitu, keluarga. Kebiasaan ayah di dalam rumah akan menjadi cermin ketika ayah berada di luar rumah, begitupun dengan ibu dan juga anak-anaknya. Sehingga kurang lebih apa yang terjadi dalam lingkaran masyarakat kita merupakan cerminan dari hubungan keluarga yang terjalin di dalam petak-petak rumah di dalamnya. Saya rasa kita semua dapat merasakan hal demikian, di mana interaksi di dalam rumah cukup berdampak signifikan bagi kita ketika berada di luar rumah, baik secara peran ataupun fungsi di dalam masyarakatnya sendiri.
Secara sederhana sosialisasi dalam kacamata sosiologi diartikan sebagai sesuatu proses belajar-mengajar dalam berperilaku di masyarakat. Sosialisasi juga dapat diartikan sebagai proses penanaman nilai, norma dan juga pengajaran terhadap budi baik seseorang dalam menjalankan perannya di dalam masyarakat secara luas. Oleh sebab itu, proses sosialisasi menjadi sangat penting, sebab tanpa adanya sosialisasi tentu suatu masyarakat tidak akan mampu membentuk peradabannya sendiri.
Proses sosialisasi paling awal dalam sebuah masyarakat ruangnya adalah keluarga. Di mana di dalam sebuah keluarga tentu kita akan diajarkan bagaimana cara berperilaku kepada sesama, bagaimana menyikapi persoalan dalam dinamika masyarakat, bagaimana cara berinteraksi dan berkomunikasi yang baik. Secara sederhana, seorang anak yang baru lahir tidak akan bisa berbicara menggunakan bahasa ibunya secara bimsalabim, tentu ada proses di mana di umur tertentu anak-anak akan diajarkan berbicara sebagaimana mestinya orangtuanya berbicara, dari mulai bahasa-bahasa sederhana seperti nama ibu dan ayahnya, menyebut namanya sendiri, sampai pada hal-hal yang ada disekitarnya. Sehingga kemudian si anak bisa memahami bagaimana orang tuanya berkomunikasi dengan mengenakan alat komunikasi yaitu, bahasa.
Coba kita bayangkan sesuatu yang sedikit agak gila, di mana seorang bayi yang baru lahir dalam kurun waktu tertentu hidup jauh dari hiruk-pikuk manusia seperti di dalam hutan laiknya kisah seoranag Tarzan, di mana si anak tidak diajarkan untuk berbicara mengenakan bahasa manusia, tidak pernah melihat bagaimana interaksi ayah dan ibunya serta lingkungan sekitarnya, hal itu tentu akan menjadikan seseorang anak yang tidak mampu menafsikar kondisi masyarakatnya sebab keterasingan yang di alaminya.
Oleh karena itu, keluarga menjadi amat penting dalam proses sosialisasi bagi seorang anak atau individu-individu di dalamnya. Ketika nilai-nilai masyarakat tidak tersampaikan secara menyeluruh tentu akan terjadi banyak sekali miskomunikasi antara si anak dan masyarakatnya, karena pembentukan karakter sesungguhnya adalah keluarga, sebuah lingkaran terkecil, struktur masyakakat paling bawah, yaitu, keluarga.
Peran penting keluarga tersebutlah yang kemudian akan menentukan nasib sebuah masyakarat, meskipun mungkin kita akan mendapati banyak faktor eksternal yang mempengaruhi di dalamnya. Namun, secara garis besar, faktor ekternal itu justru tidak akan memiliki signifikansi ketika faktor internalnya tidak bekerja sebagaimana mestinya, artinya keluarga sebagai elemen kunci tidak mampu mensosialisasikan setiap nilai, norma dan perilaku masyarakat secara luas.
Peran Keluarga dalam Membangun Peradaban
Keluarga adalah madrasah pertama bagi setiap individu yang dilahirkan untuk kemudian bisa belajar tentang nilai-nilai dasar, etika, tanggungjawab serta peran dan fungsi seseorang dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. Sebuah keluarga yang arif tentu akan membangun struktur moral yang cukup kuat, mendetailkan nilai-nlai kejujuran, keadilan dan cinta kasih. Dalam prosesnya, keluarga menjadi amunisi utama dalam membentuk suatu masyarakat yang beradab dan berperadaban.
Keluarga merupakan penyumbang utama dalam perkembangan emosional dan sosial individu. Dalam lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang dan dukungan, tentu akan melahirkan individu yang mampu memahami bagaimana perasaan orang lain bekerja. Hal tersebut tentu akan menciptakan rasa empati dan menjadi bekal yang kuat dalam menghadapi berbagai dinamika masyarakat yang kemudian bisa membangun suatu hubungan yang kokoh di dalam masyarakatnya.
Peradaban yang besar terlahir dari keluarga yang mendukung kreativitas dan eksplorasi. Sejak masa kanak-kanak, anggota keluarga sudah diberikan proses sosialisasi tentang memberikan hak kebebasan dalam menentukan minat dan bakatnya, sehingga melahirkan keluarga yang inovatif dan kritis. Namun, peran keluarga tidak hanya tentang memberikan pelajaran dan dukungan. Dalam dinamika hubungan keluarga, konflik dan tantangan sering muncul. Namun, bagaimana keluarga menanggapi dan mengatasi konflik ini memainkan peran penting dalam membentuk karakter individu. Proses ini melibatkan pembelajaran tentang toleransi, kompromi, dan ketahanan mental, yang semua merupakan unsur kunci dalam membangun masyarakat yang berperadaban.
Dengan demikian, keluarga bukan hanya tempat kelahiran, tetapi juga panggung utama di mana peradaban dibentuk. Fondasi moral, kecerdasan emosional, dan semangat eksplorasi yang ditanamkan dalam keluarga menciptakan individu yang kuat dan masyarakat yang berkelanjutan. Dalam setiap lembaga dan struktur sosial, jejak keluarga tertanam kuat, menjadi akar yang tumbuh menjadi pohon besar peradaban manusia. Sebagai gardu terdepan pembentukan karakter dan nilai, keluarga membawa tanggung jawab yang luar biasa dalam membangun peradaban yang bijaksana dan bermakna. (IM)