Belakangan beredar argumen Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. Nasaruddin Umar yang menyatakan bahwa praktik khitan pada perempuan sudah seharus tidak ada lagi di Indonesia. Ungkapan tersebut disampaikan di seminar yang mengangkat tema “Memperkuat Otoritas Negara dalam Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak: Pencegahan Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP)/Sunat Perempuan dan Perkawinan Anak yang diselenggarakan oleh Yayasan Puan Amal Hayati, Jumat 27 Desember 2024.
Pernyataan Menag ini sekaligus menandai konsistensinya dalam menyuarakan pengalaman perempuan, yang sudah ditempuh hampir dua setengah dekade (berdasarkan pencarian penulis di laman google scholar Prof. Dr. Nasaruddin Umar). Kembali lagi ke khitan perempuan, Menag mengingatkan bahwa dalam Islam khitan laki-laki dan perempuan berbeda. Ia menjelaskan kalau laki-laki memang wajib. Namun, pada perempuan ada perbedaan pandangan dalam Islam berdasarkan afiliasi mazhab fikih. Sebagaimana dilansir dari situs resmi kemenag.go.id, Menag menegaskan “Khitan perempuan ini sangat tidak manusiawi, padahal perempuan juga berhak menikmati kenikmatan biologis, tidak ada beda antara laki-laki dengan perempuan. Perempuan berhak mendapatkan kepuasan”, pungkasnya.
Seperti diketahui bahwa salah satu alasan perempuan dikhitan adalah sebagai sebuah ritual peralihan dari kanak-kanak menuju wanita dewasa, juga untuk menekan hasrat seksualitas perempuan. Padahal, beragam pandangan medis telah disampaikan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak bahaya sunat perempuan.
Beragumen tentang Perempuan dengan Memasukkan Pengalaman Perempuan
Bukan sekali ini Menag menyuarakan pengalaman perempuan. Seperti yang sudah disampaikan di atas, Menag telah mempublikasikan karya ilmiah dari sudut pandang Islam, khususnya tafsir sejak tahun 1996. Di antara karyanya yang popular adalah “Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an” (2010). Di dalam bukunya Menag menjelaskan secara objektif tentang bagaimana kondisi Jazirah Arab pra-Islam yang sangat patriarki.
Sebagai seorang pakar tafsir, ia juga mengkaji identitas gender dalam Al-Qur’an, pengertian al-rijal dan al-nisa serta bagaimana penggunaannya. Kemudian derivasi makna dari al-nisa yang turut mempengaruhi suatu produk hukum Islam. Selain itu, ia menyoroti pula tentang bias dalam proses pembukuan dan pembakuan kitab-kitab fikih yang mayoritas dilakukan oleh ulama laki-laki.
Terkait dengan khitan perempuan, di dalam Islam sendiri terdapat perbedaan pendapat. Dinukil dari buku Menag yang lain Mendekati Tuhan dengan Kualitas Feminin (2014), salah satu dalil Al-Qur’an tentang kewajiban khitan bagi perempuan adalah Q.S. al-Nisa [4]: 125. Ayat ini berisi tentang tradisi Nabi Ibrahim yang diikuti oleh Nabi Muhammad bersama umatnya, salah satunya adalah khitan. Sementara di Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i, baik laki-laki maupun perempuan adalah wajib hukumnya.
Namun, bagi Prof. Nasar, lahirnya hukum dari suatu mazhab adalah penafsiran secara kultural terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana para ulama fikih masyhur, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. Mereka adalah ulama-ulama moderat pada zamannya yang tidak pernah memproklamirkan karya-karyanya sebagai mazhab resmi dalam suatu komunitas atau suatu negeri tertentu. Begitupun mereka tidak pernah membakukan pendapatnya sebagai mazhab yang abadi yang harus dipertahankan sepanjang zaman.
Prof. Nasar juga menegaskan, walaupun mereka ulama yang moderat, mereka terikat pada kondisi sosial-budaya tempat mereka hidup. Fikih yang mereka susun berada di tengah masyarakat yang dominan laki-laki (male dominated society, seperti di Timur Tengah. Maka dari itu, tidak heran jika melahirkan fikih yang bercorak patriarki. Hal ini berimbas pada fikih perempuan, yang mana pengalaman perempuan, termasuk pengalaman biologis (melahirkan, menstruasi, menyusui) dibaca dengan kacamata pengalaman laki-laki. Ketiadaan ulama perempuan membuat pengalaman perempuan yang tidak dialami oleh laki-laki, dipaksa mengikuti standar pengalaman laki-laki, yang sudah jelas sangat berbeda.
Prof. Nasar Sebagai Ulama Perempuan
Dalam Kongres KUPI, ulama yang tergabung di dalamnya membedakan antara perempuan ulama dan ulama perempuan. Perempuan ulama-secara biologis perempuan dan memiliki keilmuan Islam yang mumpuni, tapi bisa jadi bias patriarkinya mendominasi dalam membaca sumber-sumber Islam dan menyampaikannnya kepada umat.
Sedangkan ulama perempuan adalah seorang yang menguasai ilmu-ilmu keislaman dan memiliki pemihakan terhadap perempuan. Posisi inilah yang diemban Menag, sebagai ulama ia menunjukkan keberpihakannya terhadap perempuan dengan upaya menafsirkan teks-teks keagamaan dalam kacamata atau perspektif perempuan. Oleh karena itu, ulama perempuan tidak hanya mereka yang secara biologis perempuan saja, namun mereka yang berjenis kelamin laki-laki pun bisa dianggap sebagai ulama perempuan asal pemihakan kepada perempuan. [IN]