Bagikan

Maslahata.id- Tak dapat dipungkiri fenomena perjodohan weton dalam menentukan pasangan masih melekat dan menjadi tradisi di tengah masyarakat Indonesia khususnya di Jawa. Di sisi lain, masyarakat saat ini pola pikirnya juga cenderung rasional dan pragmatis sehingga tradisi leluhur tersebut dikritisi dan direformasi. Oleh sebab itu, tradisi weton saat ini berada dalam posisi stagnasi atau dalam istilah al-Qur’an “laa yamuutu fiihaa wa laa yahya.”.

Apa itu Weton?

Di Jawa ada istilah “moco ing waksito” yakni cara membaca peristiwa dari fenomena alam yang terjadi. Kepekaan masyarakat Jawa terhadap fenomena-fenomena yang terjadi melahirkan suatu panduan yakni ilmu primbon atau nama lainnya ilmu titen (pengamatan terhadap suatu peristiwa secara periodik) (Frans Magnis Susno, 1998).

Ingatan terhadap peristiwa tersebut kemudian dicatat dan dikumpulkan sehingga menemukan titik polanya. Dalam artian weton adalah sebuah ramalan masyarakat Jawa yang digunakan untuk menentukan hari bercocok tanam, berdagang, memilih jodoh, menentukan hari pernikahan dan kegiatan sakral lainnya berdasarkan penanggalan atau kalender Jawa.

Fenomena Perjodohan Weton

Seiring berkembangnya pola pikir masyarakat Indonesia di era globalisasi, tradisi pranoto mongso ini semakin memudar dan ditinggalkan. Salah satu penyebabnya adalah ilmu pengetahuan yang makin berkembang dan mengglobal sehingga berimbas pada akulturasi budaya luar dengan budaya lokal. Sebaliknya, tidak sedikit masyarakat Indonesia khususnya di Jawa masih menerapkan tradisi weton ini. Akibatnya, masyarakat terpecah antara pro dan kontra dalam hal ini.

Semisal, masyarakat yang setuju akan hal ini terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka beralasan agar tradisi nenek moyang tetap terjaga. Ketika mereka hendak menjodohkan putra-putrinya harus melalui hitungan weton terlebih dahulu. Apabila hasilnya baik, maka perjodohan masuk pada tahap selanjutnya yakni menentukan tanggal pernikahan dan seterusnya. Apabila hasilnya buruk, maka perjodohan pun digagalkan. Kedua, mereka setuju akan tetapi hanya sebatas formalitas saja, dengan alasan demi menghargai atau menghormati tradisi leluhur. Dengan kata lain, mereka meyakini weton selama hasilnya baik dan mereka jadikan sebagai pengingat (pepiling) apabila hasilnya buruk.

Kelompok kedua ini biasanya menggunakan dalil usul fikih yang berbunyi al-‘adah al-muhakkamah yang berarti adat (kebiasaan) atau tradisi dapat ditetapkan sebagai hukum. Sehingga, pemahaman terhadap kaidah ini menunjukkan bahwa tradisi weton yang sudah melekat di masyarakat dapat menjadi hukum logis dalam menentukan jodoh. Dengan syarat tetap meyakini bahwa Allah Swt. yang mempengaruhi baik-buruknya perjodohan seseorang melalui weton tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ghayatu Talkhishi al-Murad min Fatawi ibn Ziyad sebagai berikut:

مسألة: إذا سأل رجل آخر: هل ليلة كذا أو يوم كذا يصلح للعقد أو النقلة؟ لا يحتاج إلى جواب، أن الشارع نهى عن اعتقاد ذلك وزجر عنه زجراً بليغاً, ، فلا عبرة بمن يفعله, وذكر ابن الفركاح عن الشافعي أنه إن كان المنجم يقول ويعتقد أنه لايأثر إلا الله, ولكن أجرى الله العادة بأنه يقع كذا عند كذا, مؤثر هو الله عز وجل, فهذا عندي لا بأس به، حيث جاء الذم يحمل على من يعتقد تأثير النجوم وغيرها من المخلوقات,,,

Artinya: “Jika seseorang bertanya kepada teman lainnya “apakah malam tertentu atau hari tertentu baik untuk akad nikah atau pindah rumah?” Maka hal tersebut tidak perlu dijawab. Karena syariat melarang untuk meyakini hal tersebut bahkan sangat ditentang orang yang melakukannya. Ibn al-Farkah menyebutkan sebuah riwayat dari Imam Syafii bahwa jika ahli nujum (astrologi) berkata dan meyakini bahwa yang mempengaruhi adalah Allah Swt. dan Allah yang menjalankan kebiasaan bahwa terjadi demikian di hari demikian. Maka menurut saya tidak apa-apa, karena yang dicela apabila meyakini bahwa yang berpengaruh adalah nujum dan dari makhluk-makhluk (selain Allah).”

Sedangkan masyarakat yang tidak setuju mereka beralasan bahwa nabi tidak pernah menganjurkan hal tersebut bahkan bertentangan dengan syariat Islam alias syirik. Dalil yang mereka gunakan adalah QS. al-Naml [27]: 65 yang menjelaskan tidak satu pun makhluk di langit maupun di bumi mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah. Begitu juga Nabi pernah mengatakan, “Barang siapa mendatangi juru ramal, kemudian bertanya tentang sesuatu (yang akan terjadi), maka salatnya tidak diterima selama empat puluh malam” (HR. Muslim).

Hadis di atas memberikan pemahaman bahwa hal-hal yang belum pasti (gaib) bukanlah kehendak manusia akan tetapi semua itu adalah kehendak Allah dan Allah yang mengetahui segalanya termasuk jodoh. Demikian hal ini juga dikuatkan dengan hadis lain yang mengatakan, “Allah telah mencatat takdir setiap makhluk yakni 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi” (HR. Muslum). Hadis tersebut menjelaskan bahwa takdir manusia termasuk jodoh telah ditentukan Allah jauh sebelum penciptaan langit dan bumi. Oleh sebab itu, sejatinya jodoh adalah misteri ilahi yang tak seorang pun mengetahuinya kecuali Allah Swt.

Manakah yang Maslahat?

Setelah melihat beberapa pandangan di atas, setidaknya ada tiga kelompok besar masyarakat Indonesia dalam menyikapi perjodohan weton ini. Pertama, adalah masyarakat yang fanatik buta terhadap persetujuan weton. Apa pun yang dihasilkan dari hitungan weton harus mengikutinya. Sebab, weton diyakini oleh masyarakat dapat memberikan kemaslahatan untuk masa depan pasangan calon pengantin. Kedua, mereka tetap menggunakan cara hitungan weton dalam menentukan jodoh, namun apabila hasilnya buruk mereka mencari jalan lain dengan cara istikharah dan lain-lainnya. Ketiga, adalah masyarakat yang tidak menerima tradisi weton.

Dari tiga pandangan ini, cukup memberikan informasi kepada kita dan sikap yang bisa kita tunjukkan dalam menentukan jodoh masa depan. Setuju atau tidak setuju semua kembali pada pribadi masing-masing. Sebab, setiap individu memiliki latar belakang keluarga, tradisi, prinsip dan keilmuan yang berbeda-beda.

Apabila pembaca menghendaki penulis untuk berpendapat, maka penulis akan memilih kelompok dua yang tidak terlalu fanatik buta terhadap tradisi weton. Bagaimanapun tradisi weton adalah warisan leluhur yang patut dihargai tanpa harus menghilangkan dan bahkan mempercayainya sehingga mengantarkan pada kesirikan. Di samping itu, penulis juga memiliki keluarga yang kental dengan tradisi Jawa dan juga keluarga yang kental dengan tradisi pesantren (agamis). Dengan perpaduan dua tradisi inilah, penulis menghendaki dua cara tersebut yakni hitungan weton dan istikharah sesuai dengan aturan agama.

Di sisi lain, penulis juga berpanduan terhadap anjuran nabi dalam menentukan jodoh yakni dengan memperhatikan empat kriteria calon pasangan: Agama, harta, nasab, dan kecantikan. Akhir kata, semua akan kembali pada kriteria masing-masing. Ada sebuah pesan dari M. Quraish Shihab “Kalau Anda sudah senang kepada seseorang, (maka) jangan lagi tanya akal Anda. Karena kalau tanya akal, (pasti) ada kekurangannya. Tanyalah hati Anda. Ketika hati Anda bergerak (bergetar), ketika itu carikan pembenaran untuk akal Anda.” (IM)

Wallahu’alam bi al-shawab…

Bagikan