Maslahat.id- Para sahabat Rasulullah saw. adalah orang-orang tepercaya. Mereka masuk Islam, hidup bersama, dan ikut berperang dengan Rasulullah ﷺ. Banyak pujian yang Rasulullah saw. berikan untuk para sahabatnya. Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah saw. bersabda, “Sahabat-sahabatku itu seperti bintang di langit. Dari mana saja para sahabat itu kamu ikuti, dengan sendirinya akan mendapatkan petunjuk, hidayah, dan arahan.”
Salah satu sahabat Rasulullah saw. yang luar biasa adalah Abu Dzar al-Ghifari. Ia adalah salah seorang sahabat yang sangat dekat dengan Rasulullah ﷺ. Kisah hidupnya sejak beliau masuk Islam hingga wafatnya sangatlah menarik untuk dibahas dan diambil pelajaran oleh umat Islam pada masa kini, termasuk yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangganya.
Abu Dzar al-Ghifari, Sahabat Rasulullah yang Istimewa
Abu Dzar berasal dari suku Ghifar yang dikenal sebagai suku penyamun pada masa pra-Islam. Ia memeluk Islam dengan sukarela dan termasuk sahabat yang terdahulu memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi Muhammad saw. langsung ke Makkah untuk menyatakan keislamannya. Kemudian, ia berkeliling Makkah untuk mengabarkan bahwa ia kini adalah seorang muslim. Hal ini memicu kekhawatiran serta kemarahan kaum kafir Quraisy. Dengan izin Allah, ia selamat. Suku Quraisy membebaskannya setelah mengetahui orang yang dipukuli berasal dari suku Ghifar. Selanjutnya, ia dengan gigih mengislamkan ibu dan saudara-saudaranya.
Abu Dzar dikenal sangat setia kepada Rasulullah ﷺ. Kesetiaannya dibuktikan ketika ia menyusul pasukan Rasulullah saw. menuju medan Perang Tabuk. Saat itu, keledainya lemah sehingga ia berjalan kaki memikul bawaannya di tengah musim panas yang terik. Ia keletihan dan roboh di hadapan Nabi ﷺ. Namun, Rasulullah saw. heran karena kantong airnya masih penuh. Setelah ditanya alasannya tidak minum airnya, Abu Dzar berkata, “Di perjalanan saya temukan mata air. Saya meminumnya dan merasa nikmat. Saya bersumpah tidak akan meminumnya lagi sebelum Nabi saw. meminumnya.” Masyaallah. Demikian cintanya Abu Dzar pada Rasulullah ﷺ.
Dengan rasa haru, Rasulullah saw. berujar, “Engkau datang sendirian, engkau hidup sendirian, dan engkau akan meninggal dalam kesendirian. Akan tetapi, serombongan orang dari Irak yang saleh kelak akan mengurus pemakamanmu.” Abu Dzar Al Ghifari, sahabat setia Rasulullah itu, mengabdikan sepanjang hidupnya untuk Islam.
Tidak hanya itu, Abu Dzar dan keluarganya adalah sosok yang teguh memegang kebenaran. Ia tidak pernah diam ketika melihat kemungkaran di hadapannya. Ini karena ia selalu ingat pesan atau wasiat Rasulullah saw. untuknya. Hal ini pula yang selalu beliau tanamkan pada keluarganya. Dalam sebuah hadis, Abu Dzar menceritakan, “Kekasihku (Rasulullah saw.) berwasiat kepadaku tentang tujuh hal. Agar aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Beliau memerintahkan aku agar melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku. Beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmi meskipun mereka berbuat jahat kepadaku. Aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah). Aku diperintahkan untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit. Beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah. Beliau melarang aku meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”. (HR Imam Ahmad)
Nasihat Rasulullah saw. ini Abu Dzar tanamkan kepada istri dan anak-anaknya. Dengan demikian, keluarga Abu Dzar menjadi keluarga yang sangat teguh memegang kebenaran dan selalu melakukan amar makruf nahi mungkar di tengah umat, termasuk kepada penguasa. Akan tetapi, penguasa seolah bergeming. Kemudian, Abu Dzar pindah dari kota Madinah dan memilih tinggal di Rabadzah, padang pasir liar. Istri dan anak-anaknya tinggal bersamanya tanpa keluh kesah. Sebuah keputusan yang sangat berani karena daerah tersebut sangat jarang dilalui kafilah. Mereka pun hidup tanpa ada tetangga di kanan dan kirinya.
Abu Dzar dan keluarganya sangat menjaga wasiat yang telah diberikan oleh Rasulullah ﷺ. Sang istri dan anaknya yang salihah dengan setia dan tanpa keluh kesah mendampingi Abu Dzar al-Ghifari. Mereka bersabar hidup sangat sederhanana. Abu Dzar sangat yakin terhadap janji Rasulullah ﷺ.
Ajal pun makin dekat. Ummu Dzar selalu berada di sisi sang suami untuk mengurus segala keperluannya. Melihat kondisinya yang makin parah, Ummu Dzar akhirnya menangis di samping sang suami. Abu Dzar bertanya, “Apa yang kamu tangiskan, padahal maut itu pasti datang?” “Engkau akan meninggal, padahal kita tidak ada kain untuk kafanmu,” jawab Ummu Dzar pilu.
Abu Dzar tersenyum, lalu berkata kepada istrinya, “Janganlah menangis. Suatu hari, ketika aku berada di sisi Rasulullah saw. bersama beberapa sahabatnya, aku mendengar beliau saw. bersabda, ‘Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar dan akan disaksikan nanti oleh serombongan orang-orang beriman!’ Semua yang ada di majelis itu sudah meninggal, tidak ada lagi yang hidup di antara mereka, kecuali aku. Nah, aku sekarang menghadapi maut di padang pasir. Perhatikanlah jalanan, kalau-kalau rombongan orang-orang beriman itu sudah datang.”
Tidak lama berselang sesudah Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya, tampak serombongan kafilah yang sedang berjalan cepat di padang sahara itu. Kafilah itu adalah kafilah kaum mukminin yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas’ud. Ibnu Mas’ud membelokkan tali kekangnya ke arah perempuan tua tersebut yang tidak lain adalah istri Abu Dzar. Saat pandangan matanya tertuju pada tubuh jenazah, tampak olehnya wajah sahabatnya. Sahabat seakidah dan seperjuangan dalam membela tegaknya Islam, yakni Abu Dzar. Air mata pun mengucur deras dari kedua pelupuk matanya. Innalillahi wa inna illayhi rooji’un.
Belajar dari Keluarga Abu Dzar al-Ghifari
Setelah menelusuri kehidupan sahabat mulia Abu Dzar al-Ghifari dan keluarganya, kita temukan bahwa mereka adalah sosok istimewa. Selayaknya keluarga muslim saat ini mengambil beberapa pelajaran berharga dari kehidupan sahabat mulia ini.
1. Memegang teguh kebenaran.
Abu Dzar masuk Islam atas kesadarannya sendiri, lalu mengajak ibu dan adik-adiknya. Ia sangat teguh memegang kebenaran, padahal suku Ghifar dikenal oleh bangsa Arab sebagai perompak. Abu Dzar tidak setuju dengan perompakan sehingga ia keluar dari kampungnya bersama ibu dan adiknya.
Setelah masuk Islam, ia dengan lantang menyuarakan kebenaran, meski pahit resikonya. Pada masa awal masuk Islam, ia bertekad menyuarakan keislamannya di depan Ka’bah yang saat itu masih dikuasai kaum kafir Quraisy. Ia yang seorang asing dan tidak punya sanak saudara di Makkah, langsung berani mengenalkan keislamannya di hadapan khalayak ramai. Meskipun dikeroyok oleh kaum kafir Quraisy hingga babak belur, ia tidak gentar. Pertolongan pun datang dari Abbas.
Setelah kembali kepada kaumnya, ia pun dengan gigih menyampaikan kebenaran Islam. Akhirnya, ia berhasil mengajak seluruh kaumnya masuk Islam dan membawa mereka menghadap Nabi Muhammad saw. untuk menyatakan keislamannya. Hal tersebut membuat Nabi Muhammad saw. terkagum-kagum.
2. Keluarga yang selalu menjaga wasiat Rasulullah ﷺ.
Rasulullah saw. pernah mewasiatkan setidaknya tujuh hal kepada Abu Dzar. Seluruhnya sangat dijaga, terlebih wasiat untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit dan agar tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah. Wasiat ini ia tanamkan pula kepada istri dan anak-anaknya. Meskipun banyak celaan, Abu Dzar dan keluarganya tetap berpegang teguh pada agama Allah Taala. Sayidina Ali ra. pun berkata tentang beliau,”Tidak ada lagi pada zaman sekarang ini orang yang tidak takut terhadap celaan orang dalam menegakkan agama Allah, selain Abu Dzar.”
Demikian kuatnya Abu Dzar menjaga wasiat Rasulullah. Bahkan, ketika ia melihat sesuatu yang tidak disetujuinya dari penguasanya saat itu, ia tidak segan-segan melakukan muhasabah, mengoreksi penguasa. Semasa hidupnya, Abu Dzar dikenal peduli dan sayang terhadap kaum duafa. Bahkan ini menjadi sikap hidup dan kepribadiannya.
Suatu saat ketika pindah ke Syria, Abu Dzar menyaksikan Muawiyah hidup bermewah-mewah. Muawiyah membangun istana hijaunya. Al Khizra, salah satu ahlus shuffah (sahabat Nabi saw. yang tinggal di serambi Masjid Nabawi) mengkritiknya, “Kalau Anda membangun istana ini dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan israf (pemborosan).” Muawiyah hanya terpesona dan tidak menjawab peringatan itu. Walaupun pada saat itu nasihatnya tidak diterima, Abu Dzar tetap tidak patah arang.
3. Kesetiaan seorang istri dan anak-anak kepada suami dan ayahnya.
Ketika kota tempatnya tinggal tidak lagi kondusif, Abu Dzar memilih tinggal di suatu tempat bernama Rabadzah. Di sana Abu Dzar membangun masjid. Ummu Dzar sebagai istri tidak rela jika harus tinggal jauh dari Abu Dzar. Ummu Dzar memutuskan tinggal seatap dengan suaminya, apa pun yang terjadi.
Pengorbanan dan kesetiaan Ummu Dzar kepada suaminya sudah teruji. Ia selalu mendampingi suaminya dalam keadaan susah atau senang. Ia ikhlas merawat dan menemani sang suami hingga ajal menjemput. Ia juga ikhlas tinggal di padang pasir liar dan hanya ditemani anak perempuannya, padahal usianya sudah sangat tua. Hidupnya tanpa harta berharga. Bahkan, kain untuk mengkafani suaminya pun tidak dimilikinya.
Sungguh, kita layak meneladan kesetiaan, ketegaran, dan ketabahan Ummu Dzar. Meski banyak rintangan kehidupan dan fisiknya lemah karena sudah tua, Ummu Dzar terus melayani dan merawat suaminya tanpa mengeluh atau merasa lelah. Ummu Dzar memilih menjadi wanita yang menepati janji dan memurnikan diri dalam keimanannya. Ia setia dan istikamah mendampingi sang mujahid pilihan hingga akhir hayatnya.
4. Keluarga yang hidup sederhana.
Keberhasilan Abu Dzar membawa kaum Ghifar berbondong-bondong masuk Islam, tidak membuat sahabat Nabi ini sombong. Justru ia hidup sederhana. Abu Dzar al-Ghifari menjadi teladan bagi kita agar tidak sombong terhadap apa pun yang sudah kita usahakan. Kita malah harus terus bersujud kepada Allah Taala. Kesederhanaan Abu Dzar tampak saat suatu hari ada orang yang masuk ke rumahnya. Orang tersebut bertanya, “Di mana barang-barangmu?” Sahabat Nabi ini pun menjawab, “Sudah ku kirimkan ke akhirat.” “Akan tetapi, bukankah kau membutuhkannya?” tanya orang itu lagi. “Memang, tetapi Allah tidak mengizinkan kami tinggal di sini selamanya,” jawab Abu Dzar.
Perkataan Abu Dzar al-Ghifari tersebut juga menjadi teladan. Kita tidak boleh terlena dengan kemewahan duniawi yang fana ini. Hubbud dunya hanya akan menyebabkan kita sengsara. Naudzubilahi min dzalika.