Bagikan

Ketika  kita membayangkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), citra yang paling sering muncul adalah sosok perempuan dengan tubuh lebam dan mata berkaca-kaca. Citra ini memang tidak sepenuhnya salah, namun sangat menyederhanakan kompleksitas masalah yang jauh lebih dalam. Kekerasan dalam rumah tangga bukanlah sekadar tindakan fisik yang kasat mata, melainkan juga luka psikologis yang mendalam dan berdampak jangka panjang.

Satu contoh perlakuan dialami oleh tetangga saya, sebut saja Anita. Ia mengalami KDRT oleh suaminya karena ia tidak cantik, tidak langsing, dan dianggap tidak lagi menarik di mata suaminya. Perlakuan seperti ditampar, ditendang, dan dipukul menjadi hal yang “biasa” terjadi di kehidupan pernikahannya.

Anita lelah dengan kehidupan pernikahannya yang hampir setiap hari beradu mulut dengan suaminya. Ia ingin hidup tenang dan bahagia tanpa harus mengkhawatirkan keselamatan dirinya. Sehingga, ia pun memutuskan untuk bercerai dari suaminya setelah dua tahun menikah. Sebuah langkah berani lantaran tidak semua perempuan korban KDRT mampu melakukannya.

Pada mulanya, Anita mengira jika pengalaman pahitnya akan berakhir setelah ia mengakhiri pernikahannya. Tapi ternyata, laku kekerasan yang dilakukan suaminya juga memberi dera dan luka kepada mentalnya. Luka fisik yang sembuh seiring berjalannya waktu, tidak lantas menghapuskan trauma psikologis yang menghantui batin Anita.

Rasa takut, cemas, dan tidak percaya diri jadi teman setia dalam kesehariannya. Ditambah lagi, sejak ia bercerai, sebagian keluarga dan beberapa temannya mulai menjauhi Anita sebab pengaruh stigma negatif perceraian yang dialaminya. Di mata saya, Anita bagaikan puing-puing bangunan yang runtuh, berusaha keras untuk membangun kembali hidupnya dari awal.

Anggapan Laki-laki Boleh Memukul Perempuan Menurut Agama

Hal yang terekam jelas dalam ingatan saya dalam cerita Anita adalah ketika ia mengatakan bahwa tindak kekerasan suaminya (sayangnya) mendapatkan justifikasi dari agama dengan dalih “mendisiplinkan” istri. Kala itu saya hanya termenung. Saya tahu bahwa justifikasi agama tersebut mengarah pada ayat al-Quran, Surah An-Nisa ayat 34, yang artinya:

“…Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (pembangkangan), maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur, dan (jika perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaati kamu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya…”

Saya sangat menyayangkan ayat al-Quran tersebut Hal yang paling disayangkan adalah saat ia disalahpahami sebagai rujukan perilaku tindak kekerasan suami terhadap istri, karena pemahaman tekstual. Padahal Islam dengan tegas mengajarkan prinsip kasih sayang, keadilan, dan penghormatan terhadap perempuan.

Nabi Muhammad SAW sendiri memberikan teladan dalam memperlakukan perempuan dengan penuh kasih sayang. Beliau tidak pernah memukul istrinya dan melarang umatnya melakukan kekerasan terhadap perempuan. Beliau selalu mengedepankan dialog dan penyelesaian dengan cara yang baik. Dalam sebuah hadis: “Janganlah kalian memukul perempuan-perempuan kalian.” (HR. Abu Dawud).

Pun dalam pemahaman ayat tersebut, menurut tafsir para ulama dimaksudkan sebagai ayat yang menganjurkan penyelesaian konflik rumah tangga dengan beberapa langkah bertahap. Jadi, tatkala istri membangkang maka para suami hendaknya menasehati mereka dengan lembut dan penuh pengertian (hikmah), jika tidak bisa, mereka memisahkan tempat tidur. Tujuannya memberikan waktu untuk introspeksi diri. Jika tidak bisa, langkah terakhir barulah dipukul.

Meski demikian, pukulan tersebut tidak bersifat melukai atau merendahkan sehingga ia bersifat tidak menyakitkan (dengan siwak, benda kecil, atau simbolik), tidak mengenai wajah dan bagian tubuh sensitif, dan hanya ditujukan untuk memberi peringatan, bukan melampiaskan amarah. Bahkan, ulama seperti Ibnu Abbas dan ulama kontemporer menafsirkan bahwa kata “pukul” dalam ayat tersebut lebih kepada tindakan simbolik untuk menunjukkan ketidaksenangan, bukan kekerasan fisik.

Sayangnya, pemahaman tersebut luput dari Anita dan mantan suaminya.

Tak Memilih Berlindung di Bawah Jubah Hukum

Sejatinya, perilaku KDRT telah termaktub dalam konstitusi negara sebagai tindak pelanggaran hukum dalam rumah tangga. Pasal 1 ayat (1) UU PKDRT menyebutkan bahwa perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Merujuk pada Pasal 1 ayat (1) UU KDRT, ratio legis pembentukan UU PKDRT fokus perlindungan diutamakan pada perempuan yang rentan menjadi korban. Menurut Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2004 mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai segala tindakan yang menyebabkan penderitaan atau kesengsaraan dalam bentuk KDRT baik fisik, seksual, psikis, atau penelantaran terhadap seseorang, terutama perempuan, dalam lingkup rumah tangga.

Meski demikian, Anita mengaku jika ia memiliki alasan mengapa tidak melaporkan perlakuan KDRT suaminya tersebut karena ia tidak memiliki uang. Selama ia menjadi istri, sumber pendapatan datang dari suaminya, itu pun diakuinya tidak seberapa. Menurutnya, melaporkan tindak KDRT tidak semudah kelihatannya. Apalagi, ia tidak memiliki jaringan dan pengetahuan terkait skema hukum yang berlaku dalam kasus KDRT yang dialaminya. Sehingga, akses untuk berlindung di bawah naungan hukum sulit baginya.

Faktor kedua adalah tidak adanya dukungan keluarga, lantaran tidak percaya dengan cerita Anita yang menjadi korban KDRT. Selain itu, perspektif keluarga Anita yang melihat bahwa pernikahan adalah janji seumur hidup menjadikan cerita perceraiannya sebagai hal yang negatif, dan membuat sebagian dari mereka menarik diri dari hidup Anita. Meski demikian, ia menerima dan tetap menyukuri keputusannya berpisah dari suaminya. Baginya, berpisah adalah langkah awal menuju penyembuhan luka fisik dan batin yang selama ini dideranya.

Merefleksikan diri atas cerita Anita tersebut membuat saya terpikir bilamana di berbagai penjuru negeri, banyak perempuan yang mengalami nasib serupa meski tidak persis sama. Agaknya, kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya soalan pribadi, melainkan masalah sosial yang menuntut perhatian serius untuk diselesaikan. Kita tidak bisa meninggalkan korban KDRT sendirian dalam perjuangannya, karena mereka juga perempuan yang berhak mendapatkan kebahagiaan dan hidup yang damai. (IN)

Bagikan