Bagikan

Maslahat.id- Ada nggak parenting yang ingin kalian lakuin ke anak kalian nanti?

Me: aku bakal terapin ke anakku, “mengapresiasi” sekecil apapun yang dilakukannya. Seumur hidup aku nggak pernah dpt apresiasi dari ortu makanya kadang suka haus validasi.

Sebuah cuitan di platform X menyerupai sebuah kasus

 dari sebuah diskusi parenting, yang seketika membuat saya terkesiap.

Diceritakan kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) seorang anak perempuan kelas 5 SD, sebut saja Kemuning. Pelakunya kakak kelasnya sendiri. Lokasi kejadian bahkan di dekat rumah. Apakah Kemuning pacaran dengan kakak kelas itu, dia bilang tidak. Hanya dia sangat berbunga-bunga karena anak lelaki yang sebentar lagi tamat dari SD itu sering memujinya. Hal yang tak pernah dia dapatkan dari keluarganya.

Tak usah Kemuning yang ‘haus’ pujian, berapa banyak kasus relasi lelaki perempuan, mulai dari remaja sampai dewasa, yang membuat kita gemas, karena salah satu dari mereka keterlaluan bucin-nya dan mudah baper bila tak diperhatikan.

Dibanding kesal, saya menjadi prihatin. Minimnya apresiasi ternyata punya efek yang demikian. Padahal tindakan mengapresiasi, dalam bentuk ucapan, sikap maupun perilaku, bisa berefek rasa syukur atau berterima kasih kepada seseorang yang telah melakukan sesuatu untuk kita.

Bukankah kita orang dewasa saja, sewaktu mendapatkan ucapan terima kasih yang ‘tulus’, akan memunculkan perasaan senang dan positive vibes, yang bahkan bisa menyemangati hari kita setelah momen itu?

Memuji pun Perlu Momen

Sayangnya, dalam konsep pengasuhan tertentu, memuji biasa untuk iming-iming agar anak bersedia melakukan hal positif yang diharapkan orang tua. Belum lagi, bila memuji ini begitu sering dilakukan, atau dicetuskan ketika anak-anak tidak dapat melakukannya dengan perfect atau total. Mereka mungkin akan berpikir bahwa mereka tidak begitu hebat. Atau tidak apa-apa bila tak berdaya upaya, karena sudah ‘sempurna’ di mata orang tuanya.

Ketika kalah dari perlombaan atau mendapat nilai buruk, daripada mengatakan, kamu tetap hebat di mata kami, lebih baik berujar bahwa kami percaya lain kali kamu akan lebih baik. Lalu dilanjutkan dengan, kira-kira apa yang bisa dilakukan untuk mencapai kondisi lebih baik itu. Obrolan ini akan memberi kesan kepada anak, bahwa orang tua tak hanya fokus pada hasil atau prestasi saja, melainkan juga prosesnya.

Sedikit tricky ya! Namun, mari kita mengingat selalu … sebagai orang terdekat anak, pujian yang pertama diharapkan tentu dari orang tua. Bukan guru, teman, apalagi kenalan di dunia maya. Dengan memuji, orang tua tentu akan mendapat impresi memperhatikan, bila dilakukan tepat momen dan caranya.

Perhatian dan Apresiasi

Anak-anak berapapun usianya senantiasa perlu perhatian untuk bertumbuh secara emosional, membangun kepercayaan dan harga dirinya serta pandangan yang positif terhadap pribadinya.

Karena kesibukan, orang tua kadang lupa mengapresiasi saat anak bersikap baik, alih-alih seketika merespon saat anak berperilaku tidak baik. Masalahnya perilaku tidak baik itu sangat mungkin dimanipulasi dan menjadi ‘senjata’ anak agar diperhatikan.

Padahal bila momennya tepat, segala bentuk apresiasi sesederhana menganggukkan kepala, memeluk, mengacungkan jempol, menatapnya dengan tersenyum penuh kasih, pelan-pelan akan membangun kepercayaan diri dan harga diri, termasuk kepercayaannya kepada orang tua.

Tentang hal ini, pernah saya coba terapkan ke si bungsu ketika lomba. Alih-alih menyerukan, semangat ya, kamu bisa; saya berujar, ‘Saya percaya kepadamu!’ Efeknya meski belum meraih peringkat apapun, dia tetap senang seusai lomba, mau mengikuti lomba berikutnya lagi untuk memperbaiki prestasinya.

Sebagai kontra, apabila orang tua hanya memberi perhatian pada anak ketika mereka berlaku buruk, seperti hanya menyempatkan diri ke sekolah saat dipanggil karena berbuat ulah; logika anak akan berhenti pada … apa lagi yang bisa saya lakukan di sekolah agar orang tua saya mau datang.

Pada laman Parenting Now, diungkap bahwa mengapresiasi hal yang dilakukan anak akan makin berefek super ketika kita sekaligus menjelaskan efek dari sikap perilaku mereka. “Keren banget nasi yang kamu ambil tadi bisa dihabiskan. Berarti kamu ingat bagaimana perjalanan padi dari sawah Pak Tani yang kita lewati setiap hari itu sampai menjadi nasi di piring kamu, tidak sia-sia.”

Dengan anak yang lebih kecil, bahkan mandirinya anak melakukan hal yang selama ini masih dibantu orang tua, bisa menjadi sarana untuk memujinya. “Wah, tinggimu pasti sudah bertambah! Kamu mulai bisa mengambil dan memilih baju di lemarimu! Senang nggak bisa memilih baju sendiri? Itu berarti anak Ibu sudah besar!”

Lalu … apa lagi yang bisa kita lakukan?

Tiada lain yang utama adalah menghabiskan waktu bersama. Mau anak manja atau mandiri sekalipun, anak-anak tetap senang bila orang tua mau menyisihkan waktunya, untuk bersama mereka. Makin modern dan teknologi terkini, bisa main game kesukaan si kecil, mengobrol tentang konten terkini, sama berartinya dengan memasak bareng, membaca buku atau nobar pertandingan bola.

Coba sesekali, jadikan anak sebagai pemimpin kegiatan yang akan dilakukan saat itu, biarkan mereka memilih dan membuat aturan permainan yang orang tua patuhi. Meski sebentar, tetapi fokus kepada fun together akan menjadi investasi dan dasar yang kuat untuk relasi orang tua dan anak, yang sangat bermanfaat di kemudian hari. Terutama bila keluarga berada di masa sulit. Seperti penyakit berat atau kematian anggota keluarga, maupun bila kondisi ekonomi keluarga tetiba memburuk.

Pada akhirnya, setiap anak hanya ingin merasa dicintai dan berharga. Setiap orang tua pun ingin diingat anak sebagai orang baik yang penuh cinta, dan patut dijadikan contoh. Memang perlu usaha dan belajar menghargai anak sebagai individu yang punya arti dan potensi. Namun, bila orang tua bisa menjadikan kebiasaan menghargai anak sebagai manusia, anak-anak pun dengan sendirinya terbiasa menghargai dirinya sendiri dan orang lain. (IM)

Bagikan